Dimana pun gerai Starbucks berada, hampir setiap hari antriannya tak pernah sepi. Lebih dari sekadar brand franchise kedai kopi, Starbucks telah menjelma menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat urban. Seolah ada kebanggan tersendiri ketika bisa berjalan-jalan sambil memegang gelas Starbucks yang khas dengan logo putri duyung dan sedotan berwarna hijau.
Namun, dibalik kesuksesan Starbucks yang gemilang seperti sekarang, terdapat jerih payah Howard Schultz yang menopangnya. Dengan kekayaan yang dimilikinya sekarang, susah untuk membayangkan bahwa Schultz pernah merasakan pahitnya hidup di bawah garis kemiskinan. Bagaimana kisah Schultz hingga ia berhasil membawa Starbucks hingga seperti sekarang?
Sudah Mulai Bekerja Sejak Berusia 12 Tahun
Saat Schultz masih kecil, Ayahnya yang berprofesi sebagai supir truk sempat mengalami kecelakaan. Karena tidak memiliki asuransi kesehatan, keluarganya pun kesulitan untuk membiayai pengobatan sang Ayah. Demi membantu perekonomian keluarga, Schultz pun memutuskan untuk bekerja. Akhirnya, pada usia 12 tahun, pria kelahiran 19 Juli 1953 ini bekerja sebagai loper koran. Ia juga sempat bekerja di toko yang menjual bulu binatang saat berusia 16 tahun.
Namun, Schultz bertekad untuk mengubah kehidupannya menjadi lebih baik lagi. Berkat kerja kerasnya, ia berhasil mendapatkan beasiswa kuliah di Northern Michigan University, AS, dan lulus sebagai sarjana komunikasi pada tahun 1975. Setelah lulus, Schultz bekerja di perusahaan teknologi Xerox selama tiga tahun. Setelahnya, ia bekerja di perusahaan Swedia, Hammarplast. Ia bertugas menjual peralatan rumah tangga, termasuk mesin pembuat kopi. Di sinilah ia pertama kali berkenalan dengan Starbucks.
Berkenalan dengan Starbucks
Schultz sadar bahwa Starbucks selalu memesan mesin pembuat kopi lebih banyak dibanding tempat usaha lainnya. Saat itu, Starbucks hanya merupakan kedai kopi kecil yang didirikan oleh Jerry Baldwin, Zev Siegl, dan Gordon Bowker. Sayangnya, pada tahun 1960-an, Starbucks tidak memperoleh keuntungan karena orang Amerika lebih menyukai kopi instan.
Namun, setelah mencicipi kopi Starbucks, Schultz langsung merasa jatuh hati dengan rasanya. Ia bahkan menganggap kopi Starbucks jauh lebih enak dari kopi instan. Akhirnya, Schultz menghubungi pimpinan Starbucks dan mengajukan keinginan untuk bekerja di sana. Schultz pun diterima sebagai Direktur Marketing di Starbucks dengan gaji yang lebih rendah dari yang ia dapatkan di kantor sebelumnya.
Jauh-jauh Belajar Resep Kopi ke Italia
Setelah bekerja selama setahun di Starbucks, Schultz dikirim ke Italia untuk belajar tentang cara membuat resep kopi. Di sinilah pikiran Schultz mulai terbuka lebar. Melihat begitu banyaknya kafe di pinggir jalanan Italia, Schultz berpikir bahwa Starbucks harus melakukan perubahan konsep. Starbucks tak boleh hanya menjual kopi, tetapi juga membuat kafe yang nyaman agar konsumen betah menghabiskan waktu.
Begitu kembali dari Italia, Schultz mengajukan ide tersebut kepada pimpinan Starbucks, yang sayangnya ditolak. Akhirnya, Schultz memutuskan keluar dan mendirikan kedai kopi sendiri bernama Il Giornale. Usaha kedai kopi Schultz ini ternyata mendapat sambutan ramai dari masyarakat. Perkembangannya bahkan melebihi Starbucks yang sudah lebih dulu ada. Ketika mengetahui bahwa Starbucks hanya dijual dengan harga US$4 juta (kini setara Rp 52,2 miliar), Schultz pun membelinya. Pada 1992, Starbucks resmi menjadi perusahaan publik setelah Schultz memasang saham Starbucks di New York Stock Exchange.
Kini, menurut data dari situs Statista, Starbucks telah memiliki lebih dari 25.000 cabang yang tersebar di seluruh dunia. Berkat kerja kerasnya tersebut, Schultz berhasil masuk pada daftar Forbes sebagai orang terkaya ke-354 di Amerika Serikat pada tahun 2012, dengan kekayaan bersih mencapai US$1,5 miliar atau setara Rp 19,5 triliun.